Jakarta, Sayangi.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebutkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencatat defisit sebesar Rp169,5 triliun atau 0,91 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per Oktober 2022.
“Namun realisasi defisit ini masih jauh dari target Rp840,2 triliun atau 4,5 persen PDB pada akhir tahun ini,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers: APBN KITA November 2022 di Jakarta, Kamis (24/11/2022).
Defisit terjadi akibat realisasi belanja negara yang sedikit lebih besar, yakni Rp2.351,1 triliun dibanding pendapatan negara yang mencapai Rp2.181,6 triliun.
Ia mengungkapkan realisasi belanja negara tersebut tumbuh 14,2 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) dan meliputi belanja pemerintah pusat Rp1.671,9 triliun yang tumbuh 18 persen (yoy) dan transfer ke daerah Rp679,2 triliun atau meningkat 5,7 persen (yoy).
Belanja pemerintah pusat meliputi belanja kementerian/lembaga sebesar Rp754,1 triliun atau terkontraksi 9,5 persen (yoy), serta belanja non kementerian/lembaga Rp917,7 triliun atau tumbuh 57,4 persen (yoy).
Tingginya pertumbuhan belanja non kementerian/lembaga disebabkan realisasi belanja kompensasi dan subsidi yang masing-masing mencapai Rp268,1 triliun dan Rp184,5 triliun.
Sri Mulyani melanjutkan, pendapatan negara yang tumbuh 44,5 persen (yoy) terdiri dari penerimaan perpajakan Rp1.704,5 triliun atau tumbuh 47 persen (yoy) serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp476,5 triliun atau naik 36,4 persen (yoy).
Penerimaan perpajakan meliputi penerimaan pajak Rp1.448,2 triliun atau tumbuh 51,8 persen (yoy) serta kepabeanan dan cukai Rp256,3 triliun atau tumbuh 36,4 persen (yoy).
Dengan realisasi defisit kas negara, realisasi pembiayaan anggaran mencapai Rp439,9 triliun atau turun 27,7 persen (yoy). Sementara keseimbangan primer tercatat surplus Rp146,4 triliun.
“Turunnya pembiayaan anggaran ini menggambarkan adanya pembalikan ke arah APBN yang lebih baik,” ucap dia.
Selain itu, dia mengatakan masih terdapat sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) senilai Rp270,4 triliun sebagai strategi dalam mewaspadai tahun 2023 yang kemungkinan akan mengalami volatilitas cukup tinggi.