Jakarta, Sayangi.com – Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly menyebut pemerintah punya waktu tiga tahun untuk menyosialisasikan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP) baru.
“Ada tiga tahun untuk sosialisasi KUHP ini. Saya kira kita akan membentuk tim dari kementerian, tim pakar kita yang selama ini ikut membahas dan akan dikirim ke daerah-daerah, termasuk kepada penegak hukum, baik polisi, jaksa, pengadilan,” kata Yasonna di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Selasa {6/12/2022), seperti dilaprkan kantor berita Antara.
Pada hari ini, Rapat Paripurna DPR mengesahkan Rancangan UU KUHP menjadi undang-undang. Seluruh fraksi sudah menyatakan pendapat di tingkat I terkait RUU KUHP untuk dibawa dalam rapat paripurna untuk pengambilan keputusan.
“Juga kepada kampus-kampus dan juga banyak komunitas lainnya yang perlu paham karena ini baru dan betul-betul buatan anak bangsa,” tambah Yasonna.
Namun menurut Yasonna, UU KUHP masih menunggu pengundangan untuk ditandatangani Presiden Jokowi.
“Kita sudah terlalu lama menggunakan KUHP lama, produk Belanda, yang di Belanda sendiri sudah diubah banyak. Kita mengikuti perkembangan zaman, bahwa ada perbedaan pendapat silakan saja. Kita masyarakat sangat heterogen, banyak pandangan-pandangan, tetapi kita putuskan bahwa harus kita sahkan,” ungkap Yasonna.
Yasonna menyebut dari proses pembuatannya, KUHP sudah dimulai sejak 1963 dalam satu seminar nasional, kemudian berlanjut pada pemerintahan pada pemerintahan Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah sampai pada periode kedua untuk masuk di DPR.
“Ini sudah lama sekali, tapi tidak selesai. Kemudian oleh pemerintahan Pak Jokowi periode pertama kita masukkan kembali. Sudah diketok di tingkat satu, komisi III, di paripurna banyak persoalan, banyak protes termasuk 14 poin tapi kita sisir ke daerah-daerah dan mulai kita angkat kembali ke komisi III,” jelas Yasonna.
Presiden Jokowi, menurut Yasonna, sudah memerintahkan untuk melakukan sosialisasi berkali-kali.
“Ke semua daerah kita sudah, pakar, Dewan Pers, LSM, semua sudah. Bahwa tidak semua masukan yang diakomodiasi. Bahwa ada yang akhirnya beda persepsi, ya tidak mungkinlah kita semua bisa menyetujui 100 persen. Belum ada undang-undang yang seperti itu,” ungkap Yasonna.
Yasonna menyebut bila ada pihak yang merasa tidak puas atas UU KUHP, ia pun mempersilakan mereka mengajukan uji materi atau “judicial review”.
“Saya mengajak teman-teman untuk melakukan langkah-langkah konstitusional saja, kita belajar melakukan hal-hal secara konstitusional,” ujar Yasonna.
Yasonna mengatakan terdapat tiga pidana yang diatur di dalam KUHP yang baru saja disahkan yaitu pidana pokok, pidana tambahan dan pidana yang bersifat khusus.
Dalam pidana pokok, RUU KUHP tidak hanya mengatur pidana penjara dan denda, tetapi menambahkan pidana penutupan, pidana pengawasan serta pidana kerja sosial.
Perbedaan mendasar adalah RUU KUHP tidak lagi menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif, dan dijatuhkan dengan masa percobaan sepuluh tahun, jelas Yasonna.
Selain pidana mati, pidana penjara juga direformasi dengan mengatur pedoman yang berisikan keadaan tertentu agar sedapat mungkin tidak dijatuhkan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana.