Bandung, Sayangi.com – Jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati dihukum selama 13 tahun penjara akibat kasus dugaan suap pengurusan perkara di lingkungan Mahkamah Agung (MA).
JPU Wawan Yunarwanto, dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jawa Barat, Rabu, mengatakan Sudrajad dituntut terbukti bersalah karena telah menerima suap sebesar 80 ribu dolar Singapura berdasarkan bukti dan fakta yang ada selama persidangan.
“Dituntut selama 13 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar, subsider enam bulan kurungan dengan kewajiban membayar uang pengganti sebesar 80 ribu dolar Singapura seperti yang diterima, apabila tidak dapat mengembalikan maka dipidana penjara empat tahun,” kata Wawan.
Dia menjelaskan tuntutan Sudrajad Dimyati itu sesuai dengan dakwaan alternatif pertama yakni Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Wawan menjelaskan banyak hal yang memberatkan bagi tuntutan hukuman Sudrajad, di antaranya Sudrajad dinilai tidak mendukung Pemerintah dalam pemberantasan korupsi, terlebih lagi Sudrajad merupakan hakim agung.
“Kemudian, merusak citra lembaga peradilan, terutama Mahkamah Agung, karena masyarakat menjadi tidak percaya kredibilitas MA, juga merusak citra profesi hakim,” jelasnya.
Namun, lanjutnya, ada pula hal yang meringankan yakni Sudrajad bersikap sopan selama persidangan. Selain itu, Sudrajad juga dinilai memiliki tanggungan dan belum pernah dihukum.
Sementara itu, pengacara Sudrajad, Firman Wijaya, menilai ada beberapa fakta persidangan yang belum terbukti, antara lain pembicaraan Sudrajad dengan pihak-pihak lain yang terlibat. Selain itu, kata Firman, ada pula soal goodie bag terkait suap yang belum jelas keberadaannya.
“Kalau memilih angka 13 (tahun penjara) itu soal selera, tapi jangan tuntutan itu soal selera dan kira-kira, karena pembuktian itu butuh fakta nyata,” ujar Firman.