Jakarta, Sayangi.com – Anggota DPR RI Luluk Nur Hamidah memberikan sejumlah catatan penting terkait Program Makan Siang dan Susu Gratis.
Menurut Luluk, DPR sendiri hingga saat ini belum meiliki pandangan yang sama terkait dari mana anggaran Makan Siang dan Susu Gratis ini. Pihaknya menengarai adanya upaya mengutak-atik anggaran dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan subsidi energi. Dia mengingatkan agar hal itu jangan diteruskan karena memiliki resistensi yang tidak kecil.
“Kita tidak menginginkan exit strategy dari pemerintah dengan cara mengorbankan existing program yang sebenarnya sangat baik dan dibutuhkan, apalagi dana BOS merupakan pemenuhan hak pendidikan dan dukungan anggaran operasional yang penting karena merupakan amanah konstitusi,” kata Luluk saat menjadi narasumber dalam acara diskusi publik yang diselanggarakan oleh Forum Aktivis Nasional (FAN) bertajuk “Makan Siang dan Susu Gratis dalam Pelaksanaan dan Tantangan” di bilangan Tegal Parang Mampang Prapatan Jakarta Selatan, Kamis (17/5/2024).
Dalam acara yang dipandu oleh aktivis GPII Karman BM itu, Selain Luluk Nur Hamidah, hadir sebagai narasumber yaitu Anggota DPD RI Angelo Wake Kako, Peneliti Setyo Budiantoro, dan pengamat politik dari Universitas Indonesia Ade Reza Hariyadi.
Luluk menilai selain persoalan anggaran kerena ruang fiskal di APBN sangat terbatas, tantangan yang dihadapi program ini cukup banyak. Indonesia memiliki problem pada persoalan pangan karena memang pangan kita nyaris sepenuhnya bergantung pada impor.
“Kalau cara impor ini yang dijadikan cara untuk memenuhi janji kampanye tentu sangat riskan, karena ketahanan pangan kita rapuh, jauh sekali dari swasembada pangan,” jelasnya.
Dalam hal pemenuhan gizi atau nutrisi, persoalan kebutuhan akan daging sebelum ada program makan siang gratis pun kebutuhan daging impor sangat besar bahkan kita sering mengabaikan aturan dengan mengimpor dari negara yang belum bebas penyakit PMK seperti India dan Brazil.
Ditegaskan Luluk, sekarang tidak relevan lagi bicara setuju dan tidak setuju dengan program Makan Siang dan Susu Gratis, karena dipastikan akan menjadi kebijakan prioritas pemerintah. Namun, jika benar pemerintah berencana mengimpor 2,5 juta ekor sapi perah untuk pemenuhan susu, maka yang harus dipikirkan adalah kebutuhan sekitar 500 ribu hektar lahan untuk pengembangan sapi perah tersebut dimana letaknya harus berada di ketinggian 900 MDPL.
“Daerahnya harus sejuk seperti kuningan, ini juga masalah. Lahan bagus biasanya udah dicaplok untuk investasi, perumahan, dan industri. Jadi tak disisain lagi untuk program pertanian,” katanya.
Belum lagi untuk lahan pakan, menurut Luluk, dari 2,5 juta ekor sapi itu, dibutuhkan sekitar 1,25 juta hektar untuk menanam rumput dalam rangka memenuhi kebutuhan pakan sapi perah tersebut.
Luluk menekankan pelaksanaan program ini harus berpedoman pada asas keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat.
Partisipasi masyarakat sangan diperlukan termasuk membuka ruang kritik dan masukan. Jangan sampai masyarakat ditakut-takuti bahwa kritik terhadap program ini dianggap sebagai gangguan.
“Seperti disampaikan Pak Prabowo tempo hari, jangan sampai ada narasi kekuasaan seperti itu, program mau bagus seperti apapun jika pada akhirnya mendatangkan masalah bagi rakyat dan kemudian menjadi beban bagi rakyat tentu tidak lagi bagus,” tegas politisi PKB ini.
Luluk juga meminta agar UU Pangan diperhatikan agar bangsa Indonesia kebutuhan pangannya tersedia. Program ini jangan sampai memberi jalan dan karpet merah kepada para oligarki untuk menikmati proyek dari pemerintahan baru, dengan mengabaikan kedaulatan pangan.
Sebelumnya, Ketua Umum Forum Aktivis Nasional (FAN) Bursah Zarnubi dalam pengantar diskusi menekankan bahwa Program Makan Siang dan Susu Gratis yang digagas Prabowo-Gibran adalah program mulia. Penerima manfaatnya kurang lebih 80 juta orang dengan perencanaan anggaran sekitar 421 triliun.
“Program ini akan berdampak sangat positif pada pertumbuhan kesehatan dan kognitif-kecerdasan generasi muda kita. Ini bertujuan meningkatkan sumberdaya anak-anak sekolah kita dan pasti akan memajukan masa depan bangsa indonesia,” kata Bursah.
Menurut Bursah, kritik dan perdebatan yang muncul terkait darimana membiayai program ini merupakan hal lumrah dalam demokrasi dan akan menambah khazanah intelektual agar memperolah perspektif dan sudut pandang positif dan konstruktif bagi keberlangsungan program ini pada masa mendatang.
Turut hadir dalam acara diskusi tersebut penasihat FAN M Qodari, Dosen Paramadina Herdi Syahrasad, Direktur Kesekutif Institut Studi Strategi Indonesia (ISSID) Marbawi A Katon, Praktisi Hukum Umar Husien, dan ratusan aktivis lintas generasi dari berbagai Organisasi Kemahasiswaan dan Pemuda.