Jakarta, Sayangi.com – Anggota Pusat Kajian Asesmen Pemasyarakatan Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Reza Indragiri Amriel mengatakan kasus Irjen Teddy Minahasa dengan AKBP Dody Prawiranegara dan Bripka Andry dengan Kompol Petrus Hottime Sima mengindikasikan adanya sistem mutasi dan pengembangan karir (manajemen SDM) pada institusi Polri yang belum berjalan sebagaimana mestinya.
“Merit system terkesan dikesampingkan,” kata Reza dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Jumat.
Pakar psikologi forensik itu menelaah kasus Bripka Andry Darma Irawan, anggota Brimob Batalyon B Pelopor Satuan Brimob Polda Riau yang keberatan dimutasi ke Batalyon A Pelopor di Pekanbaru, karena sudah menyetorkan sejumlah uang kepada atasannya Kompol Petrus Hottime Sima, yang viral di masyarakat.
Kasus ini, kata Reza, mengingatkan dirinya pada bukti obrolan secara daring (chat) antara Irjen Pol Teddy Minahasa dengan AKBP Dody Prawiranegara, saat memerintahkan untuk menukar barang bukti narkoba dengan tawas.
Dalam chat WhatsApp itu, lanjut Reza, Irjen Teddy Minahasa mengirim chat kepada Dody Prawiranegara disertai dengan emoji. “Tukar sabu dengan trawas ???? (buat bonus anggota)” tulis chat Teddy Minahasa.
Pesan itu dibalas oleh Dody Prawiranegara “Siap, tidak berani ????????????”
Menurut Reza, pesan antara Teddy Minahasa dan Dody Prawiranegara tidak cukup dimaknai berdasarkan kata yang tercantum di dalam WA-nya. Emoji juga harus diperhatikan karena memberikan emosi dan konteks yang bertolak belakang dengan kata.
“Gaya bahasa menjadi penting dipahami. Alhasil, pesan TM (Teddy Minahasa) bukan merupakan perintah, melainkan bernuansa senda gurau, sindiran, dan sejenisnya,” ujar Reza.
Sedangkan pada kasus Bripka Andry dan Kompol Petrus, pemaknaan terhadap kata sudah mencukupi karena tidak ada emoji, apalagi emoji yang menghadirkan emosi dan konteks yang bertentangan.
“Jadi, komunikasi Andry-Petrus dapat dipahami sepenuhnya sebagai perintah dan kepatuhan,” kata Reza.
Tidak hanya itu, kata Reza, pemaknaan lagi dari chat Teddy Minahasa-Dody Prawiranegara merespon dengan menolak. Sehingga, setelah WhatsApp Doddy Prawirwanegara tersebut, semakin menegaskan pemaknaan bahwa tidak terjadi penukaran sabu dengan trawas.
Sebaliknya, Andry dan Petrus berkomunikasi secara linear. Yang satu memberikan instruksi, yang lain mematuhi. Karena linear, maka patut diduga kuat bahwa selanjutnya terjadi perbuatan pidana sebagaimana yang diinstruksikan.
“Karena diklaim sudah terjadi penyetoran dana, maka perlu dicek seluk-beluk penyerahan dana tersebut,” ujar Reza.
Pemaknaan lainnya yang diungkap Reza pada kasus Teddy Minahasa-Dody Prawiranegara, bahwa Doddy disebut-sebut menjual sabu sebagai cara untuk memperoleh modal dalam rangka “menembak mabes” (suap-red) agar kariernya bisa terjamin.
Kemudian, kasus Andry-Petrus terungkap setelah seorang bawahan dimutasi betapapun sudah setor uang ke atasan.
Dari kedua kasus ini, kata Reza, mengindikasikan merit system Polri terkesan dikesampingkan. Justru faktor-faktor x, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan yang lebih mempengaruhi perjalanan karir personel. “Wajarlah jika personel merasa diperlakukan tidak secara profesional,” papar Reza.
Reza menambahkan, dari kedua kasus ini berdasarkan dimensi individu, patut ditelaah alasan-alasan personel kepolisian sampai mengait-ngaitkan karir dengan “pelicin”.
Pertama, corruption by greed (korupsi karena kerakusan). Personel tidak sabar, sehingga memanfaatkan uang untuk mengintervensi sistem guna mempercepat karirnya.
“Kedua, corruption by system (korupsi karena sistem lemah). Personel menyogok karena tidak tersedia jalan lain guna mengamankan karirnya. Sistem lembagalah, bukan si personel, titik awal terjadinya korupsi,” pungkas Reza.