Jakarta, Sayangi.com – Rapat Paripurna DPR RI menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.
“Kami akan menanyakan kepada fraksi lainnya, apakah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang,” kata Ketua DPR RI Puan Maharani saat memimpin rapat paripurna.
Pertanyaan itu dijawab setuju oleh tujuh fraksi dari sembilan fraksi di DPR. Tujuh fraksi yang menyetujui yakni PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PAN dan PPP. Sementara dua fraksi yang menolak yakni Demokrat dan PKS.
Selanjutnya Puan kembali menanyakan kepada seluruh anggota DPR RI, apakah RUU tentang kesehatan dapat disahkan menjadi Undang-Undang. Pertanyaan itu kembali dijawab setuju oleh para anggota dewan.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena dalam laporannya mengatakan RUU Kesehatan terdiri dari 20 bab dan 478 pasal.
RUU Kesehatan masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas DPR RI pada Februari 2023. Kemudian, DPR RI menyampaikan RUU ini kepada Presiden Joko Widodo pada 7 Maret 2023,
Presiden menunjuk Kementerian Kemenkes RI dan kementerian/lembaga (K/L) terkait menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pihak pemerintah pada 9 Maret 2023. Kementerian Kesehatan RI mengadakan public hearing dan sosialisasi pada 13–31 Maret 2023, yang ditujukan kepada kelompok organisasi profesi, masyarakat sipil, dan kelompok terkait lainnya.
Selanjutnya, pada 19 Juni 2023 dilaksanakan rapat kerja bersama pemerintah dengan agenda pengambilan keputusan tingkat I, dan disepakati untuk dibawa ke tingkat selanjutnya yakni pengesahan dalam rapat paripurna DPR RI.
Sementara perwakilan Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf mengatakan penolakan pengesahan RUU itu dikarenakan pemerintah lebih memilih menghapuskan mandatory spending untuk anggaran kesehatan, yang sudah ada sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Perwakilan Fraksi PKS Netty Prasetiyani mengatakan proses penyusunan Undang-Undang merupakan preseden yang kurang baik dalam proses legislasi ke depan karena pembahasan RUU terkesan tergesa-gesa. Selain itu, mandatory spending penting untuk menyediakan pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dengan ketersediaan jumlah anggaran yang cukup.