Jakarta, Sayangi.com – Cendekiawan Yudi Latif mengungkapkan pahitnya kehidupan para pahlawan yang tertuang dalam sejarah kemerdekaan Indonesia harus bisa dijadikan semangat untuk menciptakan kehidupan saat ini dan masa yang akan datang menjadi lebih aman, tenteram, dan damai.
“Lewat belajar sejarah dengan segala pahitnya, dengan segala kepedihan, luka, mestinya menjadi alat untuk bangsa Indonesia belajar dan menyiapkan masa depan yang lebih tenteram,” kata Yudi Latif saat memberikan materi dalam Rakernas Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) di Universitas Trilogi, Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, bangsa Indonesia harus belajar dari sejarah, seperti kejadian kekejaman Gerakan 30 September oleh Partai Komunis Indonesia (G-30-S/PKI), enam jenderal serta satu orang perwira pertama militer Indonesia dibunuh dalam satu malam.
Ilmu sejarah tersebut, kata dia, bukan untuk memperpanjang permusuhan, melainkan sebagai semangat seluruh elemen bangsa untuk berhenti mewariskan konflik baru.
“Jadi, kalau sekarang kami mengungkap kebrutalan PKI, bukan berarti akan terus memperpanjang konflik, permusuhan, dan menciptakan konflik-konflik baru. Justru dengan belajar dari segala brutalitas, kepedihan masa lalu, bangsa Indonesia harus berhenti mewariskan konflik pada anak dan cucu,” ucapnya.
Dalam kesempatan tersebut, Yudi Latif juga mengajak 200 guru sejarah peserta Rakernas AGSI untuk dapat menyampaikan ilmu sejarah kepada peserta didik dengan baik, bukan untuk menumbuhkan rasa dendam, melainkan semangat untuk terus menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.
Yudi berharap para guru memberikan ilmu sejarah dengan cara yang lebih kreatif pada era pesatnya perkembangan teknologi saat ini.
Menurut dia, pembelajaran menggunakan audio visual akan lebih menarik dan tidak monoton. Selain itu, konten utama yang diangkat juga sebaiknya disampaikan secara humanis.
“Bangsa Indonesia memang tidak bisa melupakan, tetapi harus bisa memaafkan agar bisa berdamai dengan musuh. Rakyat harus siap bekerja dengan musuh dan musuh itu harus menjadi mitra,” ucapnya. Ia mengemukakan bahwa tidak ada gunanya saat ini untuk saling serang, menyalahkan satu sama lain, maupun menuntut salah satu pihak untuk bertanggung jawab atas kejadian masa lalu.
“Kalau menghukum salah satu pihak, dampaknya akan lebih destruktif, memperpanjang konflik-konflik baru. Rekonsiliasi di Indonesia tidak mesti harus sama seperti di Afrika dan lain-lain,” pungkasnya. (An)