SayangiSayangi
  • Beranda
  • Nasional
  • Internasional
  • Lifestyle
  • Opini
  • Video
Reading: Ketua Bawaslu Sarmi Disorot Soal Keterangan Palsu di MK dan Dugaan Gratifikasi
Share
Font ResizerAa
SayangiSayangi
Font ResizerAa
  • Beranda
  • Nasional
  • Internasional
  • Lifestyle
  • Opini
  • Video
Search
  • Beranda
  • Nasional
  • Internasional
  • Lifestyle
  • Opini
  • Video
Have an existing account? Sign In
Follow US
  • Beranda
  • Nasional
  • Internasional
  • Lifestyle
  • Opini
  • Video
© Sayangi.com 2022 | All Rights Reserved
Sayangi > Nasional > Ketua Bawaslu Sarmi Disorot Soal Keterangan Palsu di MK dan Dugaan Gratifikasi
Nasional

Ketua Bawaslu Sarmi Disorot Soal Keterangan Palsu di MK dan Dugaan Gratifikasi

Bustami 11 February 2025
Share
Calon Bupati nomor urut 3 Agus Festus Moar (kiri) dan Calon Wakil Bupati Sarmi no urut 2 Jemmi Maban (kanan).
SHARE

Sarmi, Sayangi.com – Tokoh adat sarmi Yakonias Wabrar menegaskan pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Sarmi ternoda karena Ketua Bawaslu dinilai tidak netral dan cenderung berpihak ke Paslon 01 Dominggus-Jumarti. Ketidaknetralan tersebut menuai protes dari Paslon 02 Yanni-Jemmi Maban dan 03 Agus Festus Moar-Mustafa Arnold Muzakkar.

“Keberpihakan Ketua Bawaslu Sarmi sangat kasat mata dan membuat fungsi pengawasan menjadi tumpul,” kata Yakonias di Jakarta, Selasa (11/2/2025).

Yakonias, yang juga merupakan bagian dari tim pemenangan Paslon 02 Yanni-Jemmi Maban, menyebut bahwa Ketua Bawaslu Obet Cawer lebih berfungsi sebagai humas Paslon 01 ketimbang pengawas pemilu.

Untuk memuluskan keberpihakannya, bahkan Obet dinilai tidak segan-segan memberikan keterangan yang tidak benar saat sidang di di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai mencederai integritas pemilu di Kabupaten Sarmi.

Dalam persidangan sengketa Pilkada Sarmi di MK pada 30 Januari 2025, Ketua Bawaslu Sarmi, Obet Cawer, mendapat pertanyaan dari Hakim Ketua Suhartoyo terkait tujuh kasus pidana pemilu di Kabupaten Sarmi yang telah diteruskan oleh Gakkumdu ke tahap penyidikan di Polres. Saat itu, Obet menyatakan bahwa hanya tiga dari tujuh laporan yang diproses di Pengadilan Negeri (PN) Jayapura.

Baca Juga  Ahok Berpeluang Diusung PDIP di Pilkada Sumut 2024

“Faktanya, ketujuh laporan tersebut semuanya telah disidangkan di PN Jayapura, dan pada 5 Februari 2025, hakim memutuskan bahwa para terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara,” kata Yakonias.

“Bagaimana bisa seorang Ketua Bawaslu memberikan keterangan yang tidak benar di hadapan yang mulia hakim konstitusi,” lanjutnya.

Pernyataan yang menyesatkan ini, menurut Yakonias, semakin menguatkan dugaan bahwa Obet tidak menjalankan tugasnya dengan independen dan profesional.

Dugaan Gratifikasi

Sebelumnya, Obet Cawer sudah menjadi sorotan publik karena pernyataannya yang cenderung membela Paslon 01. Menurut Yakonias, tak lama setelah pemungutan suara, Obet dengan cepat mengeluarkan pernyataan di media massa bahwa tidak ada kecurangan yang bisa menyebabkan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Padahal, di kantor Bawaslu telah masuk banyak laporan terkait pelanggaran dan pidana pemilu yang terjadi sebelum dan saat pemungutan suara. Pernyataan ini memicu protes dari pihak Paslon 02 dan 03.

Muncul pula dugaan bahwa Obet menerima gratifikasi sehingga dia tersandera dan tak bisa melakukan fungsi pengawasan dengan adil. Dana gratifikasi tersebut, katanya, diduga digunakan untuk membeli mobil yang disamarkan atas nama orang lain, serta membangun rumah dan kos-kosan.

Baca Juga  Risma Akan Mundur dari Mensos untuk Berkontestasi di Pilkada Jatim

“Ada saksi kunci yang siap memberikan kesaksian dan bukti tak terbantahkan terkait dugaan ini,” katanya Yakonias yang saat ini berada di Jakarta bersama Cabup 03 Agus Festus Moar.

Bisa Dijerat Hukum

Pengamat kepemiluan dari Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, menegaskan bahwa jabatan Ketua Bawaslu adalah posisi terhormat yang memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga integritas demokrasi.

Menurutnya, siapapun penyelenggara pemilu, termasuk Ketua Bawaslu jika terbukti memberikan keterangan tidak benar di persidangan, maka ia bisa dijerat dengan pasal hukum terkait kesaksian palsu serta mendapat sanksi etik dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

“Memberikan keterangan yang tidak benar di muka persidangan MK bisa memiliki konsekuensi serius, baik dari segi hukum, etika, maupun dampaknya terhadap integritas pemilu. Ini bukan hanya mencoreng citra lembaga, tetapi juga merugikan proses demokrasi secara keseluruhan,” ujar Karyono.

Sebagai informasi, dalam pasal 242 KUHP memberikan keterangan palsu dalam konteks ini dapat dipidana penjara selama tujuh tahun.

Terkait dugaan gratifikasi, Karyono menyebutnya sebagai tindakan tercela yang sangat mencederai demokrasi. Jika terbukti, maka hal ini bisa menjadi kasus serius yang berpotensi ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau aparat penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan.

Baca Juga  Pramono-Rano Tiba di KPU DKI Untuk Daftar Pilkada 2024

“Jika ada laporan atau temuan yang cukup untuk membuka penyelidikan, maka proses hukum bisa dimulai,” katanya.

Ditegaskan Karyono, daya rusak suap terhadap demokrasi sangat besar karena menimbulkan konflik kepentingan. Jika Bawaslu menerima hadiah atau uang dari Paslon tertentu, besar kemungkinan keputusan yang diambil oleh Bawaslu akan dipengaruhi oleh pemberian tersebut.

“Ini jelas bertentangan dengan prinsip independensi dan objektivitas yang harus dijaga oleh lembaga pengawas pemilu,” tegasnya.

Menurut Karyono, penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, harus menjunjung tinggi prinsip kejujuran, transparansi, dan independensi dalam melaksanakan tugasnya. Jika terjadi penyalahgunaan wewenang dan korupsi dalam pemilu, maka kualitas demokrasi bisa mundur dan martabat bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia menjadi tercoreng.

“Jangan biarkan penyalahgunaan kewenangan dan korupsi mencemari kualitas demokrasi kita,” pungkas Karyono.

Untuk diketahuhi, sesuai Pasal 12 C Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila gratifikasi yang diterima terkait dengan jabatan atau kewenangan, maka si penerima dapat dikenakan hukuman penjara paling lama 20 tahun.

TAGGED:BawasluBawaslu RIPilkada SarmiPilkada serentak
Share This Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link
What do you think?
Love0
Sad0
Happy0
Sleepy0
Angry0
Dead0
Wink0
Previous Article Hujan Deras, Prabowo dan Presiden Erdogan Berbagi Payung di Halim
Next Article Komisi XI DPR Setuju Efisiensi Belanja Bappenas Rp1 Triliun Lebih
Leave a comment

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#TRENDING

Berita Terkait

HeadlineNasional

Kehadiran Cawabup Sarmi Jumiarti di Hambalang Bukan Diundang Presiden

14 February 2025
HeadlineNasional

Mendagri: Presiden Pilih 20 Februari untuk Pelantikan Kepala Daerah

3 February 2025
HeadlineNasional

Kemenangan Bursah-Widia Tak Bisa Digugat ke MK, Jika Maksa Akan Kandas

2 December 2024
NasionalHeadline

PKB: Angka Golput Pilkada DKI Tinggi Karena Kandidat Tak Diminati

30 November 2024
Show More
SayangiSayangi
Follow US
© Sayangi.com 2022 | All Rights Reserved
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Iklan
  • Pedoman Media Siber
  • Standar Perlindungan Profesi Wartawan
  • Hubungi Kami
Sign in to your account

Lost your password?